iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menjadi Raja Dibalik Jabatan Imam dan Guru

Menjadi Raja Dibalik Jabatan Imam dan Guru
Berubahlah!

Ketika aku harus mengkritik diriku sendiri....

Cukup lama tak menulis tema tentang gereja (Katolik). Sepertinya sudah hampir 5 tahun terakhir aku tak 'mengusik' perjalanan Gereja, tepatnya setelah "kenyamanan" di dalam gereja mulai kutinggalkan.

Di satu sisi, aku sangat bangga menjadi seorang Katolik. Itu pasti. Tentu bukan pertama-tama karena aku menjadi bagian dari 1,5 milyar penganutnya. Bukan! Bukan itu. Namun karena sejak kecil aku memang dibaptis secara Katolik dan disahkan secara legal-formal dan spiritual aku sudah masuk di dalamnya.

Di sisi lain, kebanggaanku itu sering harus diuji oleh performa gereja yang ditampilkan oleh mereka yang bertanggung jawab pada pertumbuhannya.

Aku punya alasan untuk itu: Pengajaran iman alias katekese sangat minim. Peran imam sebagai raja, imam, dan guru dengan masing-masing tugas untuk memimpin, menyucikan dan mengajar semakin hari semakin kabur.

Entah aku salah atau benar. Tetapi kini justru semakin terlihat pemisahan tri-karya pelayanan di atas; dan hampir dapat dipastikan bahwa fungsi sebagai RAJA justru semakin menonjol.

Para imam yang dididik sebagai pewaris, pemangku dan penerus (bersama awam juga) ketiga tugas utama gereja tersebut justru semakin meninggalkan dua fungsi utama lainnya, yakni sebagai imam dan guru.

*****
Menjadi Raja Dibalik Jabatan Imam dan Guru
Penyerahan gedung istana Catholic Center dari Uskup Metropolis kepada Imam sebagai direktur.




Label "RAJA" rupanya jauh lebih menarik dari label imam atau label guru. Sepertinya pilihan ini memang mendapat dukungan dari perkembangan dunia kiwari. Posisi direktur, komisaris, rektor, dekan, kepala sekolah, pelindung, penasihat, letua komisi, dan berbagai posisi strategis yang sangat duniawi dan moncer menurut publik justru semakin dikejar para imam kita.

Maka tak mengherankan ketika Paus Fransiskus berhasrat mengembalikan Gereja sebagai wahana untuk melestarikan semesta kepada para uskup dan para pimpinan Kongregasi atau Ordo yang justru sibuk merusak alam dengan kebun-kebun sawit super luas mereka

Di saat Paus mengkritik globalisme dan kapitalisme, berbagai komunitas religius imam dan biarawan-biarawati malah merawat mentalitas kapitalis mereka atas dasar kebutuhan biaya perawatan gedung biara atau seminari, atau demi menyekolahkan anggota kongregasi mereka.

Di saat Paus berteriak agar Gereja mengampuni dan membuka tangan lebar-lebar kepada para pendosa yang bersedia bertobat, para imam dan kaum biarawan-biarawati justru semakin serius mengunci pintu-pintu Gereja pada hari-hari biasa dan hari-hari Minggu, hanya karena mereka tak mau diganggu oleh umat yang datang terlambat.

Di saat Paus berani mengkritik negara adidaya seperti Amerika lewat pidatonya yang sarat makna tentang spiritualitas Kristiani di depan Kongres Amerika baru-baru ini, para imam kita justru lebih memperhatikan dan merawat secara mendalam para investor pribadi atau 'keluarga kudus' mereka.

Di saat Paus mengunjungi Kuba dan berbagai pengalaman spiritual berbuah pada pertobatan kolektif untuk kembali ke Gereja, semakin ke sini efek kehadiran imam ditengah umat justru semakin jarang dan tak lagi dinantikan. Tak hanya itu, para imama itu justru sering meninggalkan kekacuan di tempat penugasan yang lama dan menciptakan gosip baru tentang diri mereka ke tempat pelayanan yang baru.

Di saat Paus mencoba keluar dari pola pikir klasik dan sentra-hirarkis dengan membuka pintu lebar-lebar kepada semua kaum, para imam dan uskup di gereja-gereja lokal malah semakin memperketat aturan dan memperbanyak "uang kutipan" demi membangun tembok dan gerbang Pastoran mereka.

Ini berarti bahwa arti kata "Katolik" sebagai "universal" yang sedang dibangun ulang oleh Sri Paus, pun oleh beberapa imam yang baik dan masih mencintai Yesus sebagai pendiri Gereja mereka, kini malah di-parsial-kan oleh sebagian besar imam yang lebih doyan menjadi fokus perhatian daripada memperhatikan umat yang dipercayakan kepadanya.

Begitu juga ketika Paus Fransiskus mengajaak para imam memilih tinggal di kamar biasa dan bukan di istana megah kepausan, para uskup dan imam di berbagai belahan dunia, terutama di Indonesia malah semakin mengiyakan pembangunan gedung megah sebagai istana tempat mereka jadi raja.

Proposal pembangunan gereja, proposal pembangunan pastoran, proposal pembangunan Aula Paroki, proposal pembangunan Gua Maria atau tempat ziarash, proposal pembangunan Catholic Center dan berbagai proposal pembangunan fisik silih berganti menghiasi sosial media, tabloid, jurnal, majalah, berita mingguan dst.

Catholic Center nan megah di Keuskupan Medan

Perayaan Ekaristi pun semakin garing. Selain karena kehilangan kharisma (entah karena terlalu sibuk menjadi direktur dan mandor pembangunan gereja) rasa garing itu juga disumbangkan oleh kehilangan pesona dan bahkan kehilangan pengetahuan dari para imam saat berada di mimbar.

Bagaimana tidak, para imam lebih menyukai menjadi pusat perhatian di seminar-seminar, workhsop atau lokakarya, camping, outbound, family outing atau di acara-acara yang biasa dilakukan oleh kaum awam. Hasilnya, perayaan Ekaristi pun tak lebih dari sekedar kewajiban.

Kalau dulu kekurangan jumlah imam adalah alasan dibalik "mahalnya Perayaan Ekaristi", kini yang menjadi alasannya justru karena kesibukan para imam kita yang melebihi kesibukan para pimpinan perusahaan.

Demikian juga ketika KATEKESE kepada umat tak lagi berjalan sebagaimana dicatat dengan indah di nota-nota pastoral, AD-ART Keuskupan, AD-ART Paroki, Statuta-statuta, bahkan dalam Surat Gembala para Uskup mereka.

Harus kita akui bahwa yang menyusun berbagai buku-buku indah itu adalah para teolog, ahli kitab suci, ahli liturgi, bahkan filsuf lulusan Italia dan negara-negara Eropa dan Amerika. Tak heran bila isi buku-buku panduan tadi terasa ganjil bagi sebagian besar awam yang memacanya.

Andai para pendiri ordo dan kongregasi bangkit dari kubur mereka dan melihat para pengikutnya sekarang, yakInlah mereka akan segera membubarkan ordo atau kongregasi yang mereka dirikan. Bagaimana tidak, ordo-ordo dengan dengan tagline Salib Suci kini justru berubah menjadi Aib Suci; para pengikut St. Fransiskus Assisi atau dengan tagline Saudara Dina pun telah berubah menjadi saudara penghina si miskin, karena ordo mereka memiliki harta kekayaan yang sangat besar.

Begitu juga ketika imam Jesuit lebih betah menjadi ordo berduit atau pencari duit lewat percetakannya, Ordo Carmel lebih cocok digelari coklat caramel karena larut dalam nikmatnya jadi juragan tanah dan bangunan megah.

Bukan hanya kongregasi para putri-putri Fransiskanes pun lebih terlihat sebagai ordo ngenes, tetapi kini, semua ordo dan kongregasi justru telah berubah haluan dari arah yang telah ditetapkan para pendirinya.

*****

Di tataran yang lebih kecil, tepatnya di komunitas-komunitas diaspora (komunitas basis), para imam dan juga para calon imam atau kaum berjubah semakin malas merawat umat. Sangat sedikit dari mereka yang betah dan konsisten mengikuti Doa-doa Lingkungan, alih-alih mengunjungi keluarga-keluarga dari umat yang mereka layani, bahkan ketika mereka tinggal di pedesaan.

Bisa jadi karena fasilitas wifi di pastoran telah menyibukkan mereka menyapa yang 'umat' secara virtual. Ataua, fasilitas AC di ruangan kamar Pastoran telah membiasakan tubuh mereka tak boleh berkeringat di luar sana. Atau, malah karena penuhnya makanan di kulkas membuat hidangan sederhana yang disediakan tuan rumah setelah Doa Lingkungan usai begitu hambar rasanya bagi lidah mereka.

Penyakit elit, seperti kadar gula meninggi, kolesterol menukik, darah tinggi melaju cepat, asam urat semakin merekat, pun atas dasar sedang diet sesuai saran dokter tak ayal lagi kerap dijadikan sebaia alasan untuk tidak menyantap makanan sederhana hidangan umat tadi.

Begitulah para imam kerap kali menampilkan dirinya "sangat berharga" seperti ketua dan anggota KPK atau Raja yang harus mengatur pola makan, pola diet, bahkan pola hidup berdasarkan tips-tips yang dicatat artistik di majalah-malah pria dan majalah khas ibu-ibu dapur kesukaan mereka.

*****
Menjadi Raja Dibalik Jabatan Imam dan Guru
Gereja yang ceria jangan hilang dari dunia ! 
Ke-tak-melekat-an pada benda atau barang-barang duniawi yang didendangkan saat kaul kekal hingga ditabalkan saat tahbisan seakan sirna sesaat bersamaan dengan lupanya para imam tadi akan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan kepada Gereja yang telah  mereka ucapkan di depan umat Allah. 

Kini, atas kelalaian para imam akan tugasnya sebagai imam, maka umat pun terpaksa jajan ke gereja-gereja lain, atau ke mall yang juga menyediakan meja perjamuan yang lebih layak dan bernafaskan kebersamaan dan kekeluargaan.

Akhirnya, atas kelalaian imam pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengajar, maka umat pun tetap konsisten pada ketidaktahuan atau rasa cuek yang mendalam pada pejabat Gereja yang tak sempat lagi menjelaskan kepada mereka secara gamblang dan jelas tentang: 
(1) Siapa Yesus sesungguhnya, 
(2) Mengapa orang Katolik dituduh menyembah patung, bahkan mempertuhankan Bunda Maria, 
(3) Mengapa para imam selibat tapi tak sudi terlibat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual umatnya,
(4) dan masih banyak pertanyaan lain yang tak sempat dijelaskan oleh para imam yang RAJA tadi.  

Anehnya, di atas semua fakta miring di atas, Gereja Katolik kok masih eksis dan masih banyak pengikutnya hingga kini ? Jangan-jangan semua anilisa dan otokritik di atas malah tak berguna, atau nol besar. 

*****

Sebagai seorang yang lahir dan bertumbuh sebagai penganut agama Katolik, saya justru melihat bahwa eksistensi Gereja Katolik saat ini sebagai lahan ujian bagi kesabaran Bapa (Pemimpin), Putra (Pengajar) dan Roh Kudus (Pengudus).

Jangan-jangan... kesabaran itulah yang membuat para imam dan pejabat gereja melupakan fungsinya sebagai imam dan guru, dan sebaliknya hanya mengingat satu fakta bahwa mereka adalah RAJA.

Di atas semua fakta-fakta di atas, kita toh harus melakukan sesuatu sebagai seorang Katolik untuk Gereja yang kita cintai itu. Ya, minimal mendoakan Tak ada selain mendoakan mereka sebagaimana dicatat pada Puji Syukur No. 184 :
Bapa yang penuh kasih sayang, kami bersyukur atas imam-imam yang telah Kauberikan untuk mendampingi kami, umat-Mu. Engkau sendirilah yang telah memilih dan memanggil mereka. 
Sudilah Engkau memberkati mereka dalam semua karya pelayanan bagi umat-Mu. Jadikanlah mereka garam yang dapat melindungi hidup kami dari kebusukan dan kehancuran. Jadikanlah pula mereka terang, yang dengan perkataan dan perbuatan memancarkan terang-Mu sendiri kepada orang-orang yang sedang diliputi kegelapan. 
Semoga karya mereka Kaukaruniai hasil yang membahagiakan Bapa yang penuh kasih, sudilah melindungi para imam kami, khususnya . . . , dari bahaya-bahaya yang mengelilingi mereka laksana singa yang mengaumaum mencari mangsa. Kuatkanlah mereka bila mengalami kesulitan dalam panggilan. 
Dan bila ada imam-Mu yang ragu-ragu akan panggilannya, sudilah Engkau datang meneguhkannya; bimbinglah mereka kembali ke jalan yang telah Kaupilih dan Kautentukan bagi mereka. Kau ada di antara mereka yang memilih jalan lain, sudilah Engkau tetap memberkatinya, karena mereka pun tetap anak-Mu. 
Semoga mereka tetap dapat hidup sebagai orang beriman, dan bekerja giat di tengah jemaat-Mu. Semoga ini kami mohon dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami. 
Amin.
Kita semua berharap agar para imam kembali menjalankan fungsinya sebagai imam, raja dan guru bagi kita umat Allah. Tentu saja perlu kita sadari bersama, bahwa kita harus tetap berada di "rumah" kita agar kita tetap bisa membersihkannya dari dalam.