iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Demokrasi, Gerbang Memilih Pelayan Rakyat

Demokrasi, Gerbang Memilih Pelayan Rakyat
Anda boleh saja menyebut diri profesor dan pesohor. Tetapi kepintaran dan ketenaran Anda tak akan pernah menyaingi kekuasaan yang dimiliki presiden dan menterinya, para gubernur dan bupati, bahkan semua pejabat lain yang berperan sebagai pengambil kebijakan.

Anda boleh saja menyebut diri sebagai pengusaha terkaya dan pemilik modal terbesar di negeri ini. Tetapi bila Anda tak punya jabatan di pemerintahan, atau tak mau menjalankan kebijakan negara, atau ketika Anda tak punya relasi yang baik dengan para pengambil kebijakan, maka dalam hitungan jam Anda bisa saja miskin dan harta Anda disita negara. Tentu bila Anda melanggar peraturan yang ada.

Demikian juga Anda boleh punya media dengan ratusan juta oplah, atau punya media televisi dengan jutaan iklan yang antri karena televisi Anda sangat diminati pemirsa. Tetapi bila Anda tak menjalankan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, khususnya departemen terkait, maka dalam sekejap mata siaran di televisi Anda bisa saja diblokir pemerintah.

Pendek kata, apa pun profesi Anda, atau sehebata apa pun Anda, bila menjalankan bisnis tanpa mengikuti aturan yang diberlakukan pemerintah, maka Anda sama saja bekerja tanpa hasil.

Ini sebabnya banyak orang ingin menjadi pejabat, entah menjadi presiden, gubernur, bahkan bupati/walikota sekalipun. Bahkan, ketika mereka tak punya kompetensi dan tak populer ditengah masyarakat, maka mereka akan mendukung siapa pun calon yang mereka anggap menguntungkan.

Begitulah politik berjalan di antara kepentingan umum (masyarakat) dan kepentingan diri/kelompok. Konon katanya, rakyat selalu menyukai (baca: akan memilih) pemimpin yang mengutamakan kepentingan umum.

Begitulah demokrasi seharusnya dijalankan: dari, untuk, dan oleh rakyat. Presiden, gubernur, bupati/walikota, bahkan kepala desa dipilih langsung oleh rakyat. Begitu sistem demokrasi yang dijalankan di negara ini.

Apakah cara ini berhasil? Maksudnya, apakah rakyat selalu memilih yang terbaik dari calon pemimpin yang tersedia? Bisa ya dan bisa tidak.

Ada kalanya justru rakyat yang salah pilih. Mengapa rakyat bisa "salah" pilih? Bisa saja karena mereka tak tahu kriteria pemimpin yang pro rakyat, dan dalam ketidaktahuan itu kepada mereka justru diberi pemahaman yang salah oleh mereka yang ingin menguasai rakyat.

Di titik inilah demokrasi selalu berjalan antara dua kepentingan "kekuasaan ada di tangan rakyat" versus "rakyat dikuasai oleh pemimpin".

Soeharto, Pinochet, Mugabe, dan diktator lain telah menjalankan model kedua, di mana mereka justru menguasai rakyat alias membiarkan rakyat hidup dalam kontrol penuh pemerintah hingga mereka kehilangan kebebasannya.

Di titik inilah rakyat harus berani mengambil haknya sebagai "penguasa" utama dan si penguasa harus sadar bahwa ia hanyalah sosok yang diberi kekuasaan untuk sentara waktu oleh si empunya kekuasaan, yakni rakyat itu sendiri.

Untunglah, setelah 71 tahun merdeka rakyat Indonesia akhirnya mulai menyadari hak dan kewajibannya dalam berdemokrasi. Syukur kepada Tuhan, setelah pemilu secara langsung kita pun bisa punya presiden sehebata Jokowi, Gubernur Ahok di ibukota, Risma di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung, dan pemimpin di daerah-derah lainnya.

Sayangnya, rasa haus akan kekuasaan itu semakin hari justru semakin terlihat. Hingga apa pun akan mereka lakukan demi mendapatkan kursi kepala daerah, termasuk dengan memainkan isu agama.

Tapi saya yakin, upaya dari kelompok penganut "Bumi Datar" itu takkan mungkin bisa membodohi masyarakat yang sungguh sudah tahu kalau "Bumi itu bulat"!

Jadi mau memilih pemimpin yang bersedia menjadi pelayan rakyat atau justru lebih menyukai pemimpin yang menjadikan rakyat sebagai pelayannya?



Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.