iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Narsisme Sama Bahayanya Dengan Hoax

berswafoto dan hoax berlebihan sama saja dengan membunuh
Sumber Foto Berujung Maut
(1)
Di dunia serba-foto semua hal tampak telanjang. "Narsisme" adalah istilah lain untuk menggambarkan betapa ketelanjangan tak lagi terhindarkan.

Narsisme bahkan tak lagi diterjemahkan sebagai hasrat untuk mencintai diri sendiri secara berlebihan. Arti narsisme telah bergeser menjadi hasrat untuk menjual diri sendiri/orang lain dengan cara mempublikasi penampilan terbaik di dunia maya.

Ketika jaman majalah Kawanku, Gadis dan sederet majalah remaja di era 90-an, banyak anak muda berhasrat jadi model untuk sampulnya. Kita tahu, siapa pun yang pernah jadi model di sampul majalah itu, maka ia akan berpotensi jadi "artis".

(2)
Kini, kita adalah pimpinan sekaligus redaksi dan ediotr untuk majalah yang kita desain sendiri. Anda tinggal cari template majalah Time, Rolling Stone, Tempo, dst. di internet, masukkan foto Anda di tempat yang kosong, dan Anda sudah jadi model sampul majalah.

Untuk lebih meyakinkan, silahkan bikin nomor edisi dan lengkapi dengan barcode dari majalah tersebut. Mudah bukan? Udah gitu Anda tinggal posting di FB, IG, TW, WA, Path, dst. Selipkan sedikit kalimat yang mengundang tanggapan atau komentar. Misalnya, "Akhirnya cita-citaku untuk menjadi model di sampul majalah sebeken TIME kesampaian juga."

Tak berhenti di situ. Era "foto editian" di atas justru semakin ke sini malah tak terlalu disukai. Mungkin karena mayoritas pengguna media sosial udah bisa bedain mana foto asli dan mana foto editan, maka "tempel gambar" tadi sudah mulai ditinggalkan juga.

Danau Toba dari Tele (Lusius)
(3)

Lantas apa yang trend di dunia fotografi? Sepintas terlihat orang sudah kembali ke foto orisinal. Tentu dengan berbagai polesan di sana-sini berkat bantuan kecanggihan dunia "perkameraan" saat ini.

Yang sedang laris manis di dunia fotografi sekarang --meminjam istilah sebuah Koran dengan oplah terbesar di Asia Tenggara -- adalah "Berburu Foto."

Orang ingin fotonya berlatar Ka'bah saat umroh atau naik haji, pun berlatar Basilika St. Petrus Vatikan saat mengadakan tour ke sana.

Terutama orang Indonesia: halak hita (orang kita). Kebetulan sekali, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat "altruis" dalam hidup bernegara.

Misalnya, orang Medan yang lebih suka ke rekreasi, belanja, atau berobat ke Penang dan Singapura daripada ke berobat ke Jakarta, belanja di Bandung, atau rekreasi ke Danau Toba.

Selain alasan tak keren bila wisata hanya ke lokasi-lokasi yang ada di Indonesia, atau karena belanja di Singapura dipandang lebih "wah", tetapi juga - dan ini terutama - karena latar untuk ber-swafoto di negara tetangga itu lebih indah.

"Ah, kau itu selalu berfoto dengan latar belakang Danau Toba, Air Terjun Sipiso-piso, kebun teh Sidamanik, becak motor Siantar, atau Museum Batak di Balige.

Awak nih sudah tak terkera berapa foto awak berlatar patung singa di Singapur, menara Proton Malaysia, Bangunan-bangunan antik di Eropa, bahkan Stadion Bernabeu Real Madrid di Spanyol.

Ini sebabnya, orang kita banyak yang melakukan wisata rohani, seperti Orang Kristen ziarah ke Yerusalem dan eropa, Islam ke Mekkah, Budha ke Nepal, Hindu ke Delhi, dst. seringkali membeli oleh-oleh terlebih dahulu di Indonesia sebelum bepergian.

Para calon jamaah haji beli kurma dulu baru ke Arab. Para peziarah Katolik beli banyak salib atau rosario bertuliskan huruf Latin dulu di Toko Paroki terdekat sebelum pergi ke Basilika Vatikan, Gua Maria Farima Portugis, Gua Maria Lourdes di Perancis, dst. Kok bisa?

(4)
Tentu saja. Karena oleh-oleh yang sesungguhnya bukanlah yang mereka berikan di awal tadi: bukan kurma, bukan patung atau salib, bukan juga tasbih atau miniatur jubah linen seorang bikhu. Oleh-oleh sesungguhnya jauh lebih mahal dari apa yang diberikan ke tetangga dan handai taulannya tadi.

Lantas, apa dong hadiah atau oleh-oleh terbaik itu? FOTO. Ya, foto. Kebetulan tanpa kamera DSLR alias hanya dengan kamera ponsel saja semua tempat/obyek sudah bisa direkam. Kalau tak percaya, lihatlah tingkah orang yang baru pulang dari bepergian.

Pertanyaan "ngapain aja lu disana, non/bro?" hampir selalu dijawab dengan rekaman foto dan video: "Lu liat aja di HP gue!"

Tentu ada maksudnya. Minimal untuk mengatakan, "Gue beneren ke sana loh." atau diikuti cerita, "Ih jeung, disana itu apa-apa mahal. Cuma di sana mah, enggak kayak orang kita. Orang sana mah gak mau tau urusan orang. Udah gitu kemana-mana mudah banget. Enggak macet kayak di Amplas Medan atau di Ciputat Jakarta...bla...bla..bla..."

Begitu penting penegasan tadi, dan seolah mengatakan "gue ke luar negeri itu bukan apa-apa. Gue bosa di sini melulu. Belum lagi orang kita itu nyebelin, dan orang sana baik-baik."

(5)
Tapi mengapa rekaman foto atau video? Jelas sekali, karena dunia berbasis IT saat ini memang sedang mengindoktrinasi pikiran bawahsadar kita lewat visi dan misi mereka: "Setiap momen yang kamu lalu harus kamu rekam, karena momen tersebut tak pernah terjadi dua kali."

Aku teringat saat akhir tahun 2016 lalu, aku "mengasingkan diri" sebulan lebih di Pulau Dewata. Pertama kali ke Pantai Nusa Dua, kedua tanganku seolah-olah gatal dan mataku kelilipan kalau enggak memotret apa pun yang ada di sekitar pantai indah itu."

Pukul 10.00 WITA pagi s.d. pukul 16.00 WITA sore, kerjaan asyik motret aja. Sungguh tak ada waktu untuk menikmati riak-riak ombak, melihat bule berjemur telanjang sambil asyik membaca buku, merasakan dinginnya air laut di bibir pantai, bahkan menikmati semilir angin yang cetar, dst. Momen-momen itu baru "kunikmati" justru setelah memindahkan foto-foto hasil jepretanku dari ponsel ke laptop.

Untungnya aku cepat sadar. Dalam hati, 'Masa' iya aku ke Bali hanya untuk cari foto?'
Dua hari kemudian, aku pergi lagi ke pantai yang sama, tapi kali ini tanpa sibuk dengan foto. Anda tahu, aku baru sungguh-sungguh menikmati keindahan Pantai Nusa Dua, dan beberapa tempat indah yang kukunjungi di Bali.

Namun di saat yang sama, aku juga menyaksikan betapa banyak orang, terutama kaum muda yang rela kehilangan ponsel dan terhempas ombak hingga terjatuh di atas karang yang runcing hanya demi mencari latarbelakang foto yang indah dengan tagline: "Aku di antara gulungan Ombak Pantai Kuta".

*****
narsisme dan hoax
Ilustrasi "Saracen" si Penebar Fitnah 
(6) 
(6)

Sedemikian tingginya hasrat orang kekinian, bahkan "rela mati" hanya untuk mendapatkan foto terbaik dan di tempat-tempat berbahaya, serta dengan resiko kehilangan nyawa.

Entah apa yang sedang kita pertaruhkan untuk semua itu. Andai saja Anda seorang fotografer profesional dan foto Anda adlaah "jualan" Anda, maka menurut beberapa orang sih, itu sah-sah saja.

Tapi, bagaimana mungkin Anda rela terjatuh dari tepi jurang, terjerembab ke lumpur hidup, tersambar petir, terguulung ombak tinggi, tertabrak bus, dst hanya untuk mencari "foto terbaik" Anda untuk diposting di Instagram dan Path?

Seberapa penting bagi Anda menjadi "pahlawan kamera berteknologi tinggi" atau "Idola para pengguna tongkat narsis" hingga rela terluka hingga kehilangan nyawa?

Entah sudah berapa banyak orang yang mati sia-sia hanya untuk mengabadikan momen petualangannya. Entah sudah berapa banyak duit yang Anda habiskan berpetualang ke Eropa, Asia, Amerika dan Australia hanya untuk menambah koleksi Album foto Anda?

Faktanya, secara tak sadar, kita memang sedang menjadi PEMASAR GRATISAN dari berbagai produk ponsel, terutama yang kita pakai.

Memang, sangat disayangkan ketika para pemuja diri secara berlebihan tadi malah tak menyadari bahwa jangakauan kamera jauh lebih terbatas dari mata. Kamera secanggih apa pun ia hanya bisa memperjelas obyek bidikannya, tetapi mata seburam apa pun sungguh mampu mengenal obyek yang tak jelas dilihatnya.

(7)
Laju pertumbuhan produk canggih teknologi informasi, terutama ponsel cerdas dengan fitur kamera yang canggih pula ternyata berdampak langsung pada pada HILANGNYA RASA TAKUT akan bahaya dari penggunanya.

Walaupun sesungguhnya bukan hanya kamera, tetapi juga media sosial secara umum. Karena ponsel cerdas selalu ada dalam genggaman Anda, maka sewaktu-waktu Anda juga akan merasa gatal bila tidak memposting, menyukai, menanggapi atau sekedar berbagi postingn yang lagi #Tranding.

Kebiasaan ini juga penuh resiko. Tak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga, dan terutama, bagi orang lain. Komplotan Saracen dengan aliran Jonruismenya, misalnya, telah terbiasa menebar hoax hingga para anggotanya selalu santai saat menghujat dengan kalimat-kalimat sebau hajat, memplintir fakta; dan bahkan untuk tindakah jahat mereka: Jokowi dihina dan Ahok bahkan telah dipenjara.

(8)
Lantas apa hasil dari semua itu? Bila si narsis berlebihan tadi bisa terluka hingga kehilangan nyawa sendiri, maka orang yang memperjualbelikan fitnah dan ujaran kebencian - pasti akan tertangkap dan dijebloskan ke penjara.

Ini yang dialami Buni Yani yang memplintir omongan "live" Ahok hingga berujung pada super-demo di ibukota hingga Ahok dijebloskan ke penjaran.

Tapi, syukurlah bahwa di negeri ini tak semua mudah dihasut, dan tak semua orang bermental kasut. Salah satu contoh ketika pada perayaan Natal tahun lalu Habib Rizieq dengan tertawa mengejek orang Kristen mengatakan kepada pengikutnya, "Tuhan kok lahir dari perempuan. Emang bidannya siapa?" lalu disambut dengan tawa membahana, orang-orang Kristen tak mau dihasut.

Bisa jadi karena orang-orang Kristen, yang memang mengimana bahwa Yesus sekaligus manusia dan sekaligus Tuhan itu masih ingat perkataan Yesus, "Ya di atas Ya, tidak di atas Tidak. Selain itu berasal dari si jahat."

(9)
Benar saja. Tak lama kemudian, kasus pornografi menimpa Rizieq hingga sampai hari ini ia tak berani pulang dari Arab sana. Jadi jelas sekali, siapa sesungguhnya si jahat yang ditulis dalam Injil di atas.

Masih banyak contoh tentang bahayanya "cinta diri" berlebihan, apalgi ketika seseorang begitu meninggikan dirinya sembari melecehkan yang lain.

Aku jadi teringat kata beberapa teman pendukung Ahok dan Jokowi, "Mereka yang telah memfitnah hingga memenjarakan Ahok akan mendapat karmanya sendiri; begitu juga yang memfitnah dan menuduh Jokowi dengan ujaran negatif."

Sebagian dari mereka sudah mendapat kapling di sel-sel, sedang menghadapi kasus korupsi yang ia lakukan, bahkan hari-hari ini, beberapa pembenci Ahok dan Jokowi yang bergelar Profesor kini malah terlihat begitu bodoh dan tolol.

(10)
Akhirnya, Anda boleh dan sah-saja saja menelanjangi diri Anda sendiri di media sosial, bahkan mengupayakan potret diri terbaik hingga tak takut bahaya, dst.... tetapi ketika Anda menjadikan rasa cinta diri sendiri tadi sebagai alat untuk merendahkan orang lain, maka pada saat itulah Anda sungguh sedang menelanjangi diri.

Itu karena berswafoto (ber-selfie-ria) secara berlebihan pasti sama saja bahayanya dengan menebar ujaran benci saban waktu kepada orang-orang baik.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.