iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menjadi Petani Sebagai Penderitaan

Menjadi Petani Sebagai Penderitaan

Bagi masyarakat Batak di perantauan, kehidupan sebagai bagian dari keluarga PETANI sering dikenang sebagai masa lalu yang menggetirkan, suram bahkan terkait erat dengan kemiskinan.

Itu sebabnya, dalam hati anak-anak di Samosir dan sekitarnya, merantau adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib: keluar dari kemiskinan. Tentu saja sekolah (biasanya hingga lulus SMA sederajat) dipandang sebagai prasyarat untuk pergi dari kampung pertanian tadi.

Padahal, di sisi sebaliknya, orangtua mereka menyekolahkan atau memodali usaha mereka dari HASIL PERTANIAN. Ya, termasuk mengongkosi perjalanan mereka keluar dari kampungnya.

Saya kagum dengan kebiasaan Batak Simalungun di daerah Saribudolok dan Haranggaol yang justru banyak yang kembali sebagai petani /peternak ikan setelah mereka lulus kuliah di Kota.

Begitu juga dengan beberapa orang Batak Karo di Kabanjahe dan sekitarnya yang justru nyaman melanjutkan usaha bertani orangtuanya. Sayangnya jumlah mereka hanya segelintir saja.

Nyatanyam mereka yang telah kembali ke kampung halaman dan meneruskan hidup sebagai petani justru sedang menikmati hasil pertanian yang mengagumkan.

Pertanyaannya, apakah mungkin orang Samosir kembali ke kampung halamannya dan kembali berprofesi sebagai petani? Mungkin agak riskan, mengigat lahan pertanian yang terbatas dan tanah yang tandus di sana. Hanya, mereka yang ada di tepi danau Toba bisa jadi peternak ikan.

Tapi lagi-lagi hal itu riskan juga, karena akan mengotori Danau Toba yang kini sedang digadang-gadang sebagai tempat wisata berkelas internasional.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.