iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

SARACEN versus SARAMENDA

SARACEN versus SARAMENDA

Saat Pilkada DKI ada muncul komplotan bernama saracen. Mereka ditugasi mencuri akun medsos pendukung lawan, memposting kejelekan lawan dengan cara membunuh karakternya, dan yang paling penting: mereka dibayar untuk menjual isu SARA yang disuai masyarakat Indonesia.

Sekitar 700-an daerah di Indonesia sedang ketakutan bila model persaingan Pilkada DKI Jakarta diterapkan di tempat mereka. Ketakutan mereka bukan tanpa alasan. Di benak mereka terpikir begini, "Kalau di DKI Jakarta atau mayoritas warganya sangat tolol hingga mudah dipecah belah oleh isu agama, bagaimana dengan kami di daerah ini?

Yap. Itu ketakutannya. Walapun, seperti biasa, setelah ada korban (hingga dipenjara), barulah para tokoh masyarakat baru berteriak: "Mari kita jauhi isu SARA saat Pilkada.

"Tentu saja tak ada satu agama pun yang menganjurkan konflik apalagi dengan mengusung isu SARA dalam Pilkada," tambah para pemimpin agama.

"Kami akan menindak siapa pun yang ketahuan menggunakan isu SARA dalam Pilkada. Kita bahkan telah membuat lembaga yang mengawasi seluruh tindakan verbal dan non-verbal yang mengaarah ke SARA," tambah pembesar Polri di depan wartawan.

Lantas, mengapa isu SARA sangat ditakuti? Ketakutan masyarakat ketika isu SARA dipakai sebagai alat mencapai kemenangan politis bukan tanpa alasan. 

Pertama, isu SARA telah terbukti menjadi gerbang bagi perpecahan dan perang saudara.

Kedua, semakin banyaknya publik yang hobi menggunakan isu SARA dalam politik kompetisi politik semakin menegaskan bahwa negarai ini masih dipenuhi oleh ORANG TOLOL sedunia: Semua mata pelajaran di sekolah atau matakuliah perguruan tinggi ternyata tak ada manfaatnya.

Ketiga, kucuran dana sebesar 20% dari APBN untuk pendidikan, termasuk diantaranya biaya pendidikan Agama, PKn, Sejarah, Geografi dan mata pelajaran lain yang berhubungan dengan kecintaan pada negara ini ternyata sia-sia. Sebab, mayoritas masyarakat justru lebih tertarik mata pelajaran/kuliah yang tak dipelajari, yakni SARALOGI.

Kini, setelah semakin banyak calon kepala daerah yang doyan menggunakan SARALOGI sebagai alat kemenangan, dan bersamaan dengan itu jumlah pengikutnya justru semakin banyak, akhirnya organisasi tertentu mengusulkan agar pemerintah mendirikan lembaga SARAMENDA (Suku Agama Ras MENDAlam) yang independen.

Tugas para SARAMENDA adalah mengawasi dan mempelajarai strategi perang ala SARACEN (Suka Agama Ras Cetek dan Norak). Salah satu tugas pokoknya adalah menggunakan strategi SARACEN untuk menghantam balik SARACEN.

Di lapangan, terutama di musim Pilkada tahun ini, perang antara SARAMENDA dan SARACEN sudah dimulai. perang ini ibarat perang antara orang yang PURA-PURA TOLOL melawan orang yang TOLOL PERMANEN. Pura-pura tolol karena sebetulnya mereka sangat tahu bagaimana kinerja SARACEN memenangkan calon mereka dengan menggunakan isu SARA.

Hanya saja, akan terjadi seperti yang sudah-sudah. Mereka yang pura-pura tolol tadi justru menjadi tolol permanen, alias justru menjadi anggota SARACEN. Tak heran bila orang bergela profesor doktor pun telah banyak tergiur masuk SARACEN.

Coba, Anda bayangkan waktu di DKI Jakarta. Komplotan perusuh negeri bernama FPI dan HTI (yang sudah dibubarkan) serta kelompok Islam radikal yang dididik sejak dini oleh PKS, Gerindra dan PAN justru begitu asyik menghina agama Kristen dan agama Islam sendiri.

Pertanyaannya, apakah di partai dan komplotannya itu tak ada orang Kristen dan Islam? Ya, pasti ada. Tapi, mengapa mereka yang Islam tak keberatan saat jenazah pendukung Ahok-Djarot tak boleh disholatkan? Mengapa pula si Kristen tak protes saat ia dikatain kafir dan pasti masuk neraka?

Jelas mereka tak tersinggung. Karena mereka tahu model SARACEN adalah mesin pemasaran terbaik untuk mencapai kemenangan. Tentu saja, karena mayoritas masyarakat kita masih dihuni oleh orang yang PURA-PURA TOLOL dan TOLOL PERMANEN.

Ada juga sih yang cerdas, agak cerdas dan pura-pura cerdas. Tapi mereka sangat sedikit, karena sebagian dari mereka telah memilih menjadi orang tolol permanen. Lho, kok bisa? Ya bisa dong. Masyarakat kita butuh duit untuk mengkredit barang mewat dan elit.