iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Ketika Hasrat Jadi Kebutuhan

Ketika Hasrat Jadi Kebutuhan

Saat ini kebutuhan (need) dan keinginan (want) sangat sulit kita bedakan. Game online/offline di smartphone adalah satu-satunya alasan orangtua berbicara dengan anaknya yang masih balita, anak SD, SMP hingga SMA/SMK.

Bukan terutama mereka kominilasi lewat WA, LINE, WeChat, dst. Lebih daripada itu, game online yang sangat menarik minat anak-anak tadi justru selalu jadi pemicu utama orangtua memarahi anaknya.

Tentu, tak adil menyalahkan anak. Kita, para orangtua bahkan jauh lebih parah. Anak kita panggil, sapa, suruh tapi kita fokus pada layar smartphome kita. Lebih luas lagi, di trampat kerja kita lebih suka memberi instruksi kepada bawahan via WA, termasuk saat memecat pegawai.

Pejabat publik pun berlaku sama. Mereka lebih banyak berkicau di twitter atau berbagi di medsos daripada menjelaskan apa pekerjaan ASN yang berada dalam kendalinya. Kominikasi pun berlangsung tanpa emosi, bahkan ketika mereka saling berbagi emoticon di WA group. Anehnya, kicauan mereka seringkali menjadi alasan mengapa mereka harus dibayarvmahal oleh negara.

Mimbar-mimbar agama pun tak terlepas dari jerat media sosial, tepatnya perilaku digital ini. Para imam/ulama mulai berlomba tenar, minimal di alam digital nan virtual itu. Maka lahirlah ustadz/pendeta/pastor/romo yang berbagi kotbah di medsos.

Setelah tenar di dunia maya, mereka pun semakin sering diundang berkotbah dari hotel yang satu ke hotel lainnya, dari gereja yang satu ke gereja lainnya. Tak sedikit dari mereka bahkan bersedia mengendors produk tertentu, karena produk itu telah membantu pengembangan youtube mereka.

Nyatanya, kemajuan teknologi komunikasi telah memudahkan segala hal secara instan, bahkan meringkas rasa lelah dengan bekerja hanya bermodalkan gadget dan jempol.

Bayi lucu dan gendut yang sering diliput emaknya bisa tiba-tiba, anak SD yang pintar menirukan suara hewan pun langsung viral, siswa SMP yang pintar main tiktok pun dianggap kreatif hingga viral juga, dan siswi SMA berwajah cantik dan bertubuh semok yang suka narsis di Instagram bisa tiba-tiba jadi selebgram.

Begitu pula para ustadz, pendeta, romo, pastor yang kotbahnya lucu dan diuoload ke Youtube. Apalagi kalau isi kotbahnya melecehkan agama lain, mampu membuka jalan tol ke surga, bahkan mamou meyakinkan pendengarnya kalau ia adalah titisan pendiri agamanya... Itu pasti akan ditonton jutaan orang, hingga alim ulama itu cepat tenar dan banyak duit.

Namanya uang panas. Uang balita, anak SD, SMP, SMA yang viral tadi akan dimaksimalkam orangtuanya untuk membeli rumah mewah, mobil mewah, dan tentu saja barang-barang mewah yang dibutuhkan si anak virak tadi.

Demikian juga para pejabat publik dan tokoh agama yang mendadak tenar dan banyak uang. Setelah barang-barang mewah sudah terpenuhi, jalan-jalan ke LN sudah bisan, maka si pejabat publik dan alim ulama populer itu akan mencari kesenanga "-TA" berikutnya, setelah Tahta dan Harta. Itulah wanita.

Pejabat publik dan alim ulama yang sudah punya kolektor moge Harley Davidson, mobil lux, kamera canggih, HP tercanggih, dan semua alat-alat digital yang mewah akanndilengkapi dengan kesenangan raga: wanita!

Tentu saja ini fakta ganjil. Tapi itu dulu. Sekarang ini kita tak herannlagi melihat pejabat beristri 1 + menyimpan 3 wanita, ustadz beristri 1-3, pendeta punya 1 bini + 2 bini gelap, dan pastor tang selibat diam-diam juga punya istri gelap. Hebatnya, semua penyelewengan ini hanya diketahui publik bila ada yang membentangkannya ke media sosial.

Ingat, mereka populer secara instan karena vantuan media sosial, terapi serentak sisi gelap mereka juga akan cepat terbongkar dengan adanya media sosial. Kata Yesus, "Barangsiapa yang bermain dengan pedang, akan mati oleh pedang."

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.