iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

G-Spot Dalam Tubuh yang Bergairah

tubuh yang bergairah
3. G-Spot Dalam Tubuh yang Bergairah

Mari kita perdalama tema G-Spot ini sebagai sarana untuk memahami dimensi kebertubuhan kita. Disiplin ilmu Filsafat akan saya jadikan sebagai medium untuk menemukan banyak asumsi, konsep, dan paradigma yang lahir dalam wacana pikiran-tubuh, mulai. 

Harus diakui bahwa hasrat untuk mengetahui misteri eksistensi manusia di dunia merupakan akar lahirnya ilmu fisafat. 

Demikianlah konsep tubuh dalam pandangan filsafat telah digodok sejak filsafat Yunani Kuno hingga filsafat kontemporer, mulai dari Plato hingga Maurice Merleau-Ponty.  

Menurut Merleau-Ponty[6], manusia adalah tubuh sekaligus jiwa.[7] Tanpa jiwa ia bukanlah manusia, melainkan hanya mesin biologis. Tanpa tubuh manusia juga tidak menjadi manusia, karena ia hanya entitas imaterial yang mengambang tanpa basis empiris. 

Dengan demikian tubuh merupakan aspek penting bagi manusia, baik secara biologis (karena tubuh menunjang kehidupan manusia), maupun secara filosofis (sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri). 

Maka, untuk menjadi otentik, seseorang harus menghargai dan memahami tubuhnya. Tanpa pemahaman tidak akan ada penghargaan. Dan tanpa penghargaan tidak akan ada penghayatan. 

Di titik ini penghayatan akan tubuh kita sendiri sangatlah berperan di dalam pengenalan diri manusia secara keseluruhan, yang merupakan jalan untuk menuju otentisitas diri kita.[8]

“Tubuh manusia bukanlah sesuatu yang imaterial, melainkan adalah suatu realitas otonom yang memang keberadaannya selalu berada dalam kaitan dengan pikiran, subyek, dan dunia,” demikian ditegaskan Merleau-Ponty. 

Merleau-Ponty berusaha mendekati realitas dengan pertama-tama mempelajari persepsi manusia. Mengapa? Karena segala sesuatu yang konkret pertama-tama haruslah dapat disentuh oleh pengalaman manusia, walaupun tidak harus pengalaman empiris. Benda tersebut haruslah dapat dikenali, baik bentuknya, warnanya, ukuran, dan sebagainya. Di sinilah pentingnya peran persepsi di dalam proses pengenalan realitas.

_____
[6] Maurice Merleau-Ponty [mɔʁis mɛʁlopɔti] lahir pada tanggal 14 Maret 1908 dan wafat pada tanggal 3 Mei 1961. Ia adalah seorang filsuf fenomenologi Prancis. Ia ditingal mati ayahnya pada Perang Dunia I. Menempuh pendidikan di Lycees Janson-de-Sailly dan Louis-le-Grande, dan pada tahun 1930 mendapat agregasi dalam bidang filsafat di Ecole Normale Superieure. Dia bersahabat dengan Sartre kurang labih 7 tahun (1945-1952), namun setelah itu dia menjadi penentangnya. Sartre yang gigih dengan eksistensialisme, memisahkah "subyek-obyek", kemudian menjadi Marxisme garis keras ditolak oleh Pounty. Bagi Pounty, melalui pengalaman-pengalaman yang ditemui manusia, maka diperoleh faktor lain untuk mencari "esensi" yang tidak mutlak sama pada setiap orang dari pengalamannya, yaitu ciri bahasa, pencerapan dan tubuh. Dengan begitu manusia tidak selalu menjadi subjek yang berpikir menentukan semuanya, namun dari fenomena yang terjadi, maka realitas sebagai objek dapat berbicara kepada maunusia yang juga adalah objek. Salah satu teori Pounty dapat dilihat dari caranya melakukan kritisisme, dari hipotesayang dilakukan secara psikologi, dia berpendapat bahwa manusia melakukan tindakan berawal dari refleksi psikologinya. Dari perilaku yang dia jadikan "tanda" atau fenomena, maka dapat kita peroleh data tentang seseorang terkait prinsip hidup yang menjadikannya bertindak. Selalu ada kaitan antara pengalaman masa lalu yang mempengaruhi perilaku saat ini. Keterhubungan ini terjadi pada neuro-psikologimanusia.

[7] Samuel Todes, Body and The World, London, MIT Press, 2001.

[8] Pendapat ini sejalan dengan Heidegger dalam bukunya Being and Time. Heidegger mengajukan tesis mendasar yang nantinya akan dipertahankan di dalam seluruh bukunya, yakni bahwa temporalitas merupakan makna dari ada-nya Manusia. Manusia disebut Heidegger sebagai Dasein (ada-di-sana). Sementara “ada” adalah konsep yang mendasari keberadaan manusia. Akan tetapi temporalitas Dasein (manusia) juga menjadi dasar bagi Ada yang universal (Transenden). Manusia adalah satu-satunya pengada yang menanyakan Ada. Oleh karena itu tidak ada yang dapat bermakna, kecuali itu berada di dalam pemaknaan manusia, karena Ada yang universal itu merupakan simbol dari keseluruhan realitas itu sendiri (bdk. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (imago Dei)). Heidegger sangat menekankan, bahwa Ada yang universal, yang merupakan abstraksi dari seluruh realitas, tidaklah independen dari pikiran manusia, melainkan selalu terkait dengannya. Maka Ada (Being) ini tidaklah mandiri, melainkan terkait dengan manusia (Allah tak ada gunanya tanpa manusia ?). Manusialah yang bisa mengenali dan memahami Ada. Manusia adalah pengada yang menanyakan Ada.

The Power of G-Spot
1     2     3     4     5     6     7


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.